Halaman


.::Mari Menjadikan Di Setiap Hembusan Nafas Kita Hanya Untuk Menggapai Ridho ALLAH Subhanahu wa ta'ala, InsyaALLAH::.

Kamis, 31 Januari 2008

The Million Dzikr Man

Sumber : sufinews.com
The Million Dzikr Man
Manusia bermilyar Dzikr. Itulah yang sedang dijadikan satelit oleh Allah di abad millennium ini. Allah menyebut kata Dzikr dalam Al-Qur’an 288 kali lebih, dengan tekanan poada makna Mengingat Allah hamper 90%, selebihnya bermakna sebagai peringatan, mengingatkan peristiwa, atau untuk menyebut gender laki-laki (dzakara).

Bahkan seluruh ubudiyah seorang hamba baik syari’at maupun hakikat, berujung pada puncak Dzikrullah, dalam kefanaan hamba, lalu kembali ke alam nyata lagi dengan syariat Dzikr berupa ibadah sehari-hari kita, mulai dari ritual wirid, sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah social lainnya. Dan Dzikrullah menjadi ruh seluruh proses ibadah hamba.
“Tegakkanlah sholat untuk berdzikir kedaKu,” firman Allah Ta’ala. Atau hadits Nabi saw. “Amal paling mulia adalah Dzikrullah.”
Begitu besar dan dahsyatnya urgensi Dzikrullah, sampai-sampai para hamba Allah tidak diberi dimensi ruang waktu dalam ubudiyah Dzikrullah ini. Satu-satunya ibadeah tanpa batas ruang waktu dan hitungan. Sedangkan ritual wirid (wiridan) dengan jumlah tertentu, waktu tertentu, apakah sehabis sholat dan waktu khusus, adalah dalam rangka memasuki Wilayah Tembus Batas Dzikrullah itu sendiri. Karena itu dilatih dengan jumlah angka, hitungan, yang memiliki interaksi dengan titik-titik gravitasi ruhani dan pusat-pusat gravitasi alam semesta, dunia maupun akhirat.

Lalu disinilah pentingnya Tarbiyah Ruhiyah (pendidikan ruhani) dalam ritual dzikir dari seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, dimana dalam dimensi Dzikrullah seorang Mursyid telah diberi anugerah “wilayah” (kewalian) dalam Dzikrullah dalam keparipurnaan kehambaannya, hingga diberi Wewenang oleh Allah untuk membimbing agar ummat mencapai apa yang telah diraihnya.
Karena itu Ibnu Athaillah menegaskan dalam al-Hikam, bahwa ibadah-ibadah yang berhubvungan dengan hak waktu pada hamba, seperti sholat, puasa (dengan batasan waktu) bisa diqodlo bila kita ada halangan, tetapi hak kita terhadap waktu, jika berhalangan tidak bisa diqodlo, yaitu Dzikrullah. Ibadah yang mestinya lazim, universal dan terus menerus (da’iman abadan) sepanjang hidup kita.

Hari-hari indah bersama Allah, adalah hari-hari full Dzikrullah yang secara filosufis menyatu pada AsmaNya Yang Agung, Allah. “Waladzikrullahi Akbar” (Niscaya sesungguhnya dzikir Allah itulah yang lebih besar (dibanding yang lainnya). Karenanya waktu yang terbatas ditempuh oleh para hambaNya di dunia, haruslah menjadi waktu sepesial, waktu istemewa, waktu dahsyat, seluruh waktu hidupnya adalah keistemewan dan kedahsyatan bersama Allah.
Semesta ruang dan waktu ini haruslah semesta bercahaya. Cahayanya adalah kesaksian jiwa para hambaNya dalam melihat Asma’, Sifat dan Dzat dengan matahatinya dibalik semesta, lalu pancaran cahaya itu memantul dalam pandangannya ke alam semesta ini. Disinilah kita mengerti betapa kehadiran ummat ini adalah kehadiran membawa missi Risalah, yakni Risalah Rahmat Lil’alamin. Manusia Dzikrullah dan Ahlullah.

Apakah ada alas an lain lagi, bahkan satu asja alas an dari tumpukan alasan anda untuk tidak bersyukur kepada Allah? Apakah layak alasan-alasan hina yang berbau duniawi anda jadikan alas an untuk tidak mengingat Allah? Alasan-alasan problema dan himpitan masalah untuk dijadikan alibi menjauh dari Allah? Alasan-alasan ketololan dan pengingkaran, hanya karena kebodohan, lalu anda membiarkan diri anda terseret ke jurang dzulumat kegelapan yang berlapis?

Teruskan anda mengeluh, teruskan anda berputus asa, teruskan anda merasa tak punya arti dan masa depan, teruskan anda mengarungi lembah busuk kealpaan, kemaksiatan, pengingkaran, dan kemunafikan. Jika anda memang memilih wilayah gelap Iblisian dan Syaithoniyah demi memanjakan hawa nafsu dan ego anda. Toh semua itu adalah lapisan mega yang semakin temaram, semakin gelap gulita, menghalangi cahaya matahari ma’rifatullah. sufinews.com

The Million DzikrMan
Sudah saatnya anda menjadi manusia bermilyar dzikir, bahkan di hadapan anda ada bilyunan Dzikrullah yang menunggu detak jantung jiwa anda, hasrat rindu ruh anda, hamparan rahasia ma’rifat
Sirr anda.

Setiap detak jantung kita adalah ni’mat Allah, setiap nafas yang keluar masuk adalah takdir anugerah Allah, setiap kedip mata, dan sejuta rasa di lidah kita. Bahkan ni’mat-ni’mat itu tak akan pernah bisa dihitung oleh alat mana pun, atau kehebatan manusia mana pun. Kenapa semua itu berlalu tanpa Allah?

Coba anda hitung sendiri. Dalam semenit, jantung anda berdetak 80 hingga 88 kali. Dalam satu jam jantung anda berdetak 4800 x hingga 5280 x, dalam sehari jatung anda berdetak 115.200 x hingga 126.720 x maka dalam hitungan setiap tahun, setahun jantung anda berdetak 42.048.000 x hingga 46.252.800 x dan jika dikalikan seumur hidup anda, 80 tahun menurut ukuran Alfu Syahrin dalam surat Alqadr, maka terhitung detak jantung anda mencapai 3.363.840.000 x hingga 3.700.224.000 x. (tiga milyar tujuh ratus juta dua ratus dua puluh empat ribu kali). Bayangkan! Hitungan detak jantung yang bermilyar itu, mestinya dijadikan hitungan minimal bagi hitungan Dzikrullah kita seumur hidup manusia.

Sementara tarikan nafas kita, dalam satu menit mencapai rata-rata 16 kali. Berarti 1 jam mencapai 960 x, dan satu hari mencapai 23.040 x, setahun, 365 hari, 8.409.600 x dan mencapai seumur hidup manusia jika sampai 80 tahun, berarti tarikan nafas (keluar masuk dihitung satu nafas) akan mencapai 672.768.000 x (enam ratus tujuh puluh dua juta tujuh ratus enam puluh delapan ribu kali). Apakah keluar masuk nafas anda bersama Allah? Bagaimana rasanya jika nafas anda berhenti 5 menit saja?

Padahal Ahli Dzikirullah juga diberi kemampuan kontemplatif untuk melipatgandakan jumlah dzikrullah itu, dalam jumlah yang tiada hingga, semisal dengan jumlah seluruh makhluk Allah di alam semesta, atau seluruh makhluk dalam genggaman dan pandangan Allah Ta’ala. Subhanallah.

Dan jumlah yang tak terhingga kini dilimpahkan oleh Allah dalam wadah yang tiada hingga pula, Qalbu Manusia. Satu-satunya “wilayah” yang mampu “dihuni Allah” dalam keuniversalan Dzikrullah sang hamba.

Dalam satu detik, anda bisa memasuki seluruh jumlah makhluk Allah dalam hitungan dzikir anda.
Dahsyat bukan?
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kalian tidak berilmu”, demikian firman Allah Ta’ala.
Kaum Sufi adalah The Million DzikrMan. Bahkan The Billion DzikrMan. Malah mereka bisa jadi The All Univers DzikrMan.
Lalu kita ini Sufi macam apa? Wallahu A’lam, mungkin kita hanya orang dan hamba yang sedang menggelayutkan tangan dan hati kita pada sarung para Sufi itu.

Mungkin kita tak lebih dari sekumpulan nama yang hanya menunggu doa dan permohonan ampunan Allah dari mereka itu. Mungkin kita tak lebih dari sekumpulan debu yang disapu angin, dan ditakdirkan menempel pada jubah jiwa para Sufi itu.

Apa yang bisa kita sombongkan? Apa yang bisa kita pamerkan? Apa yang bisa kita banggakan? Apa yang bisa kita kagumi pada diri kita? Apa yang bisa kita jadikan andalan bagi diri kita? Apa yang bisa kita ajukan di depan Allah kelak? Apa yang bisa kita aku?

Anehnya di zaman ini begitu banyak orang yang kontra dengan para Sufi, para ahli dzikrullah, manusia The All Univers DzikrMan. Bahkan sampai dijadikan akidah, disusun ideology agama, dibangun institusi atas nama Islam, yang ujungnya menentang kaum Sufi, menentang The Millions DzikrMan. Maka, dalam sebuah hadits Qudi, Allah menegaskan, “Siapa yang menentang wali-waliKu, Aku izinkan untuk memeranginya.”

Anehnya juga, begitu banyak, bahkan berduyun-duyun, orang yang mengangkat bendera Sufi, menyatakan dirinya sebagai seoreang Sufi, dan mencoba menikmati lambing-lambang Sufistik, praktek Sufistik, hanya demi memanjakan hawa nafsunya.

Menyelubungi Seluruh Maqomat
Lembah Dzikrullah adalah lembah dimana para Kekasih Allah bertebar. Seluruh maqomat sufi, tahapo dunia Sufi, bahkan seluruh kondisi ruhani para Sufi, senantiasa diselubungi oleh Dzikrullah, saling berkelindan, saling menyulam, saling membuahkan cabang-cabang dari pohon Ma’rifatullah yang ditanam dibumi Rasa Yaqin, dimana biji-biji Iman tumbuh.

Taubat, Mujahadah, Zuhud, Khalwat, ‘Uzlah, Tawakkal, Ikhlas, Ridlo, Syukur, Futuwwah, Cinta, Ma’rifat, dan seluruh maqom-maqom (stadium-stadium ruhani) senantiasa diliputi oleh kualitas-kualitas Dzikrullah yang menanjak pula.

Jika tanjakan ruhani tanpa ruh Dzikrullah, hanyalah perjalanan sia-sia menuju Allah, karena ia akan gagal. Sedahsyat apa pun kontemplasi filusufi pengetahuan manusia tentang Allah tanpa amaliyah Dzikrullah, tak lebih dari gedung menjulang namun sedetik lagi roboh, karena tidak ada fondasi dan penghuninya.

Oleh sebab itu, keikhlasan, ketawakkalan, kesabaran, kecintaan, kerelaan, ketaubatan, juga harus terus mengiringi gelombang Dzikrullah dalam jiwa kita.

Tidak ada komentar: