Halaman


.::Mari Menjadikan Di Setiap Hembusan Nafas Kita Hanya Untuk Menggapai Ridho ALLAH Subhanahu wa ta'ala, InsyaALLAH::.

Minggu, 17 Februari 2008

Menyoal Kembali Motivasi Berprestasi SDM Muslim

Oleh :

Muhammad Karebet Widjajakusuma Pembahasan motivasi dalam manajemen sumberdaya manusia kerap membawa nama Abraham Harold Maslow. Maslow – seorang humanis keturunan Yahudi Rusia penyandang gelar “Humanist of The Year” 1966 versi American Humanist Association – banyak dihubungkan dengan teori motivasi, khususnya dengan pendekatan content. Dalam bukunya, A Theory of Motivation (1943) sebagaimana yang dikutip oleh Mursi (1998), ia mencoba menjawab sejumlah pertanyaan seperti: kebutuhan-kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh orang-orang? Apa yang mendorong mereka untuk bertindak? Menurutnya, setiap individu mempunyai kebutuhan mendalam yang mendorong, menekan, atau memotivasikan mereka untuk menguranginya atau memenuhinya. Artinya, para individu akan bertindak atau berkelakuan dengan cara-cara yang akan membawa mereka kepada kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan mereka. Kebutuhan manusia diuraikan Maslow secara hirarkis sebagai berikut:(1) Kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, dan seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar.(2) Kebutuhan rasa aman (safety and security), yaitu kebutuhan akan perlindungan dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.(3) Kebutuhan untuk merasa memiliki (belongingness), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.(4) Kebutuhan akan harga diri (esteem), yaitu kebutuhan untuk dihormati, dan dihargai oleh orang lain.(5) Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualization), yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill, dan potensi. Dengan hirarki seperti ini, seorang karyawan yang membutuhkan keberhasilan dapat dimotivasi untuk bekerja beberapa jam lebih banyak untuk menyelesaikan suatu tugas yang sulit tepat pada waktunya; seorang pegawai yang membutuhkan penghargaan diri akan dimotivasikan untuk bekerja dengan sangat hati-hati untuk menghasilkan suatu pekerjaan dengan kualitas yang tinggi. Selanjutnya, Maslow mengemukakan bahwa orang dewasa secara normal memuaskan kira-kira 85 persen kebutuhan fisiologisnya, 70 persen kebutuhan rasa aman, 50 persen kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, 40 persen kebutuhan harga diri, dan hanya 10 persen dari kebutuhan aktualisasi diri. Setelah delapan belas tahun Maslow memunculkan teorinya, David C. McClelland (1961), psikolog Amerika dari Universitas Harvard merilis teori motivasi baru: motivasi berprestasi. Motivasi ini (achievement motive) diartikan sebagai " is impetus to do well relative to some standard of excellence" (Jhonson, 1984). Suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Dalam teori ini, dikemukakan bahwa produktivitas seseorang sangat ditentukan oleh "virus mental" yang ada pada dirinya. Virus mental yang dimaksud adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal. Virus itu terdiri dari 3 dorongan kebutuhan, yaitu: need of achievement, need of affiliation, dan need of power.McClelland memfokuskan perhatian pada pembinaan virus mental manajer. Caranya adalah melalui pengembangan potensi mereka dalam lingkungan kerja secara efektif. Dengan cara ini diharapkan produktivitas perusahaan yang berkualitas tinggi dapat terwujud hingga tujuan utama perusahaan dapat tercapai. Dari penelitiannya – juga Murray (1957) serta Miller dan Gordon (1970) - dapat disimpulkan terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi. Artinya, manajer yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya juga rendah. Dan ternyata, motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan dua faktor, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. IQ merupakan kemampuan potensi dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Artinya, orang akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa. Ia akan mampu mencapai prestasi maksimal.Meskipun teori-teori ini kelihatannya sangat sederhana, namun dalam prakteknya pengertian motivasi saat ini telah berkembang jauh lebih kompleks. Mursi (1998) melalui bukunya SDM yang Produktif: Pendekatan Al Qur’an dan Sains, bahkan menilainya telah usang. Alasannya:(1) Hirarki kebutuhan-kebutuhan itu berbeda-beda di antara para individu, dan ia juga berganti-ganti sepanjang waktu.(2) Cara-cara kebutuhan-kebutuhan tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan juga berbeda-beda di antara para individu.(3) Orang tidak selalu bertindak atas dasar kebutuhan mereka terus-menerus, dan kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi mereka berbeda-beda dari waktu ke waktu.(4) Reaksi dari para individu untuk memenuhi kebutuhan atau untuk tidak memenuhinya akan berbeda-beda. Makin banyak kita mengenal orang-orang di sekitar kita, maka makin mampu kita untuk mengerti tentang kebutuhan-kebutuhannya dan tentang apa yang akan memotivasi mereka. Tetapi, perilaku manusia tergantung kepada demikian banyak kompleksitas dan alternatif-alternatif, sehingga kita pasti akan sering kali membuat kesalahan-kesalahan dalam membuat perkiraan-perkiraan. Koreksi Mursi setidaknya memberikan gugahan untuk menyoal kembali keberadaan motivasi dalam diri seorang muslim. Seberapa tepat pendapat duo Maslow dan McClelland akan kebutuhan manusia yang abai akan aspek ruhiyah? Selalukah aktivitas manusia didasari atas motivasi bendawi? Lalu, bagaimana halnya dengan motivasi SDM Muslim? Tidakkah motivasi berprestasi telah menjadi suatu potensi yang fitrah ada dalam setiap diri SDM Muslim? Ataukah memang motivasi berprestasi adalah sesuatu yang asing sehingga telah menjadi “kemakluman bersama” bila kebanyakan SDM Muslim diidentikkan pada prototip SDM yang minus motivasi berprestasi hingga emoh beretos kerja tinggi? Bagaimana sesungguhnya kaitan kebutuhan manusia sebagai potensi kehidupan dengan motivasi dalam pandangan syariah? Untuk menjawabnya, uraian berikut mencoba memaparkan hakikat motivasi ditinjau dari sudut pandang syariah. Pemahaman akan Potensi Kehidupan Sebagaimana telah diketahui, ketika menciptakan manusia, Allah SWT melengkapinya dengan potensi-potensi kehidupan (thaqatun hayawiyatun) yang secara fitri akan mendorongnya untuk beraktifitas mewujudkan misi penciptaannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Potensi kehidupan yang dimaksud, menurut Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamy, berupa hajatu al ‘udhawiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri). Hajatu al ‘udhawiyah dapat berupa rasa lapar, haus dan kebutuhan untuk buang hajat besar dan kecil, sementara gharizah berupa naluri beragama (gharizatu al-tadayun) yang perwujudannya berupa kecenderungan manusia untuk melakukan ibadah atau aktifitas mensucikan segala sesuatu yang dianggapnya besar; naluri melangsungkan keturunan (gharizatu al nau’) dimana perwujudannya diantaranya berupa ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya; dan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatu al baqa’), yang salah satu wujudnya adalah keinginan manusia untuk menjadi pemimpin. Kebutuhan jasmani dan naluri itu menghendaki pemenuhan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana caranya manusia memuaskan semua kebutuhan jasmani dan naluri-naluri itu. Di sinilah, sesuai dengan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah Swt, upaya memenuhi dan menyalurkan segenap potensi kehidupan itu juga senantiasa harus berlandaskan pada aturan-aturan Allah. Maka, upaya memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan Allah berarti dengan sendirinya bertentangan dengan hakikat misi penciptaan manusia itu sendiri.

Motivasi Perbuatan Manusia Dalam Pandangan Syariah

Perbuatan yang dilakukan manusia (termasuk motivasi bekerja, tentu saja) tidak akan pernah keluar dari kedudukannya sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri sebagai potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Kuat lemahnya dorongan manusia untuk melakukan suatu perbuatan, selain ditentukan oleh motivasi (al-quwwah), sesungguhnya juga sangat bergantung pada maksud perbuatan dan tujuan (al qimah) yang menjadi dasar manusia dalam melakukan perbuatan. Oleh karena itu, mengetahui dan membina motivasi serta tujuan yang sahih dan kuat dengan mafhum (pemahaman) kehidupannya yang benar, agar setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat terlaksana dengan baik dan sempurna adalah suatu kemestian bagi setiap orang, tidak terkecuali para SDM Muslim.Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam buku yang sama, selanjutnya menguraikan motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan, yakni:(1) Motivasi fisik - material (al quwwah al madiyah). Motivasi ini meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan untuk memenuhi keperluan jasmaninya. Bersifat lemah dan mudah hilang. Contohnya, orang yang lapar biasanya didorong oleh kebutuhan jasmaninya untuk makan. Namun kadang dorongan tersebut dapat ditahan – misalnya karena puasa - sehingga dorongan untuk makan tidak dipenuhi. Materi adakalanya juga tidak mampu membangkitkan seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu. Uang melimpah, pangkat terhormat dan rumah mewah sekalipun tidak akan mampu memaksa seorang muslim untuk bersumpah palsu di pengadilan, jika ia takut untuk berdusta dan berdosa.(2) Motivasi emosional (al quwwah al ma’nawiyah). Motivasi yang berupa kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan ingin dimiliki seseorang ini sekalipun tidak permanen, namun lebih kuat bila dibandingkan dengan motivasi pertama. Contohnya, perlawanan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang telah merusak nama baiknya, adalah perbuatan yang didorong oleh kondisi kejiwaan seseorang. (3) Motivasi spiritual (al quwwah ar-ruhiyah). Kedua motivasi sebelumnya sulit untuk dapat dijadikan dorongan dasar bagi manusia untuk melakukan tindak perbuatan. Penyebabnya terletak pada sifatnya yang cenderung temporal, mudah hilang dan bendawi semata. Hal ini berbeda dengan motivasi spiritual yang berupa kesadaran seseorang bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah Swt. Dzat yang akan meminta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya di dunia. Motivasi inilah yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan apa saja, asalkan sesuai dengan syariat yang diberikan-Nya. Dengan demikian, motivasi yang sahih dan kuat untuk mendorong manusia dalam mewujudkan aktivitas kehidupannya adalah Motivasi Spiritual (Ruhiyah). Dengan motivasi ini, seseorang akan terpacu untuk berikhtiar terus-menerus disertai dengan tawakal dan pantang berputus harapan hingga akhirnya meraih keberhasilan dengan izin Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang. Inilah motivasi berprestasi yang sesungguhnya. Tujuan Perbuatan Manusia Hafiz Abdurrahman (1998) dalam bukunya Islam: Politik dan Spiritual, menandaskan bahwa tujuan perbuatan juga mutlak harus difahami oleh setiap manusia. Sebab dengan begitu, nilai (tujuan/al qimah) yang ingin diwujudkan dalam setiap perbuatan yang dilakukan manusia dapat terwujud dengan baik dan sempurna. Tanpa adanya pemahaman tentang tujuan perbuatan itu, seseorang tidak akan dapat menentukan apakah ia berhasil ataukah tidak.Berdasarkan hukum-hukum syara’ yang memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan tertentu, didapati adanya nilai-nilai tertentu yang diperintahkan agar dicapai ketika perbuatan tersebut dikerjakan. Nilai-nilai itu adalah: (1) Nilai Materi (al qimah al madiyah). Allah SWT memerintahkan bekerja (QS. Al Mulk: 15) dan jual beli (QS. Al Baqarah: 275) adalah untuk mendapatkan nilai materi. Dimana nilai tersebut berupa benda yang dapat diindera dan diraba, seperti uang, harta atau makanan.(2) Nilai Kemanusiaan (al qimah al insaniyah). Nilai ini berupa layanan manusia kepada sesama manusia. Misalnya, membantu orang-orang yang kesulitan materi, menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya. Semua ini dilakukan semata karena unsur kemanusiaan saja. Nilai ini diperintahkan Islam bukan untuk mendapatkan keuntungan materi, namun karena motivasi spiritual yang diperintahkan oleh Allah SWT.(3) Nilai Akhlaq (al qimah al khuluqiyah). Nilai akhlaq akan dicapai oleh setiap muslim manakala dalam setiap perbuatannya dihiasi dengan sifat-sifat (akhlaq) yang diperintahkan Allah SWT. Sifat-sifat ini nampak pada diri seorang muslim jika ia melakukan ibadah, muamalah, uqubat, makan dan minum sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.(4) Nilai Spiritual (al qimah ar-ruhiyah). Nilai spiritual dicapai dengan tujuan agar (kesadaran) hubungan seseorang dengan Tuhannya dapat meningkat, apabila ia mengerjakan perbuatan tertentu. Nilai ini bersifat pribadi, sebab hanya dia yang dapat merasakannya, orang lain tidak. Dari keempat nilai di atas, mana yang lebih utama? Yang menentukan bahwa nilai yang satu lebih utama atau sama dibandingkan yang lain adalah hukum syara’, bukan manusia. Karena itu memahami hukum syara’ akan suatu perbuatan sudah menjadi kemestian bagi seorang muslim. Hal ini sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau haram. Perbuatan Seorang Muslim Adalah Perbuatan Prestatif Dalam melakukan setiap perbuatan, setiap muslim pastilah melewati tahapan berikut, yaitu (1) berawal dari naluri atau kebutuhan jasmani, (2), mengindera dorongan yang muncul, apakah dari naluri atau kebutuhan jasmani, (3) menetapkan motivasi perbuatan, (4) berfikir tentang cara memenuhi dorongan dengan benar, baik dan sempurna sesuai dengan koridor syariah, (5) usaha untuk memenuhi naluri dan/atau kebutuhan jasmani, (6) berupaya mendapatkan nilai yang ingin dicapai.Singkat kata, disamping dalam setiap beramal seorang muslim harus berusaha meraih al qimah yang dituju, upaya yang dilakukan itu haruslah sesuai dengan aturan Islam dan dilakukan dengan menyatukan antara materi (perbuatan) dengan ruh (motivasi ar-ruhiyah). Atau dengan kata lain, ketika melakukan sesuatu harus disertai dengan kesadaran hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan bahwa setiap perbuatan muslim adalah ibadah.Kesimpulannya, setiap perbuatan seorang muslim telah dituntun sedemikian rupa sehingga motivasi seorang muslim sesungguhnya adalah motivasi berprestasi. Muslim yang selalu membina diri dengan pemahaman kehidupan yang benar, konsisten dengan amal kehidupan yang didorong motivasi yang shahih berlandaskan pada ketaatannya kepada Allah, Dzat Yang Serba Maha, maka ia akan mewujud pada prototip SDM yang didambakan Islam. SDM Muslim yang memiliki kematangan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah), melalui pola fikir dan pola sikap (perilaku) yang Islami serta profesional, yakni kafa’ah (berkeahlian); himmatul ammah (beretos kerja tinggi); dan amanah (terpercaya).Bila demikian adanya, kiranya tidaklah berlebihan bila dinyatakan bahwa mestinya SDM muslim adalah SDM yang berprestasi. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah konsultan manajemen syariah serta trainer manajemen dan motivasi. Sehari-hari Manajer Divisi Pelatihan dan Konsultasi Shariah Economic and Management (SEM) Institute Jakarta. juga menulis buku-buku manajemen berbasis perspektif syariah, seperti Pengantar Manajemen Syariah (Khairul Bayan, 2002), Menggagas Bisnis Islami (GIP, cetakan kedua, 2002), Manajemen Strategis Perspektif Syariah (Khairul Bayan, 2003).
Ma'had Darul Ihya : http://www.darul-ihya.com
Versi Online : http://www.darul-ihya.com/?pilih=lihat&id=43